Tulisan-tulisan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 1965-1970 itulah, diakui Imam banyak menginspirasi dirinya.
Lebih dari sekadar seorang pewarta andal, Imam menilai Djunaidi sebagai sosok aktivis sekaligus pelitikus yang banyak memengaruhi khalayak melalui tulisannya.
Mahbub banyak menyalurkan buah pikiran sekaligus kritikan sebagai kolumnis di koran-koran maupun tabloid ternama hingga beberapa tahun sebelum berakhirnya Orde Baru.Pria asli Betawi itu mengembuskan napas terakhirnya pada 1 Oktober 1995, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
|
"Ingatan-ingatan itu akan dapat kita jumpai saat membaca buku 'Bung Memoar tentang Mahbub Djunaidi'. Sosok Mahbub Mahbub yang begitu dekat dengan keluarga, berhasil digambarkan oleh penulis Iwan Rasta dan Isfandiari MD--yang tidak lain dan tidak bukan adalah putra Mahbub--dengan sangat nyata," kata Imam.
"(Dalam buku bigrafi Djunaidi) Isfan menceritakan bagaimana Mahbub tak mau dipanggil oleh sebutan apa saja kecuali dengan 'Si Bung'. Enggak cuma anaknya panggil si Bung, cucunya juga enggak boleh panggil kakek atau engkong. Mahbub tidak ingin merasa tua, pikiran dan jiwanya selalu muda."Imam melanjutkan, saat Mahbub menulis kritik, kritik-kritik tajamnya disampaikan dengan cara yang berbeda, tidak seperti orang lain pada umumnya yang disampaikan dengan kaku dan cenderung uring-uringan.
|
"Ia mengarahkan pandangan dan pengamatannya di hampir semua bidang. Ekonomi, politik, hukum, pendidikan, olahraga, film, sastra, hingga soal remeh seperti keberadaan jembatan."
"Luasnya bidang yang menjadi objek garapan dan pandangannya tersebut, uniknya tidak pernah memengaruhi cara pandang khas Mahbub yang selalu bisa mengemas dengan mudah, sederhana dan tidak rumit untuk dipahami," terang Imam. (bac) Baca Kelanjutannya Menpora Mengenang Mahbub Djunaidi, Pewarta Kawakan : http://ift.tt/2wLbzAoBagikan Berita Ini
0 Response to "Menpora Mengenang Mahbub Djunaidi, Pewarta Kawakan"
Post a Comment