Tontowi Ahmad menjatuhkan diri ke lantai lapangan sedangkan Liliyana Natsir mengepalkan tangannya sambil tetap berdiri. Tontowi/Liliyana berhasil jadi juara di BCA Indonesia Terbuka 2017, namun hal itu tak lantas membuat Indonesia benar-benar melepas status sebagai tanah terjajah.
Koleksi gelar mereka semakin terasa lengkap karena sebelumnya Tontowi/Liliyana sudah jadi juara All England, Kejuaraan Dunia, dan Olimpiade.
Keberhasilan Tontowi/Liliyana jadi juara di tahun ini juga membuat Indonesia mengakhiri hampa gelar di rumah sendiri yang sudah berlangsung selama tiga tahun. Tontowi/Liliyana gembira, Indonesia pun berpesta!
Tontowi/Liliyana juara Indonesia Terbuka 2017. (CNNINDONESIA/Hestirika)
|
Namun pesta Tontowi/Liliyana tak seharusnya benar-benar jadi pesta luar biasa bagi Indonesia. Banyak hal yang bisa jadi alasan mengapa Indonesia Terbuka tak sepenuhnya lepas dari status sebagai tanah terjajah.
Tahun ini sudah tahun 2017 dan itu berarti Tontowi/Liliyana sudah terus diandalkan dalam tujuh tahun terakhir. Khusus untuk Liliyana, ia bahkan sudah jadi andalan Indonesia dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Sejak dipasangkan pada akhir 2010, target Tontowi/Liliyana adalah Olimpiade 2012. Selepas kegagalan Olimpiade 2012, Tontowi/Liliyana menyusun ulang kekuatan dan membidik Olimpiade 2016 sebagai ajang pembalasan.
Selepas sukses di Olimpiade 2016, mengapung isu bahwa Liliyana akan gantung raket. Namun beberapa saat kemudian Liliyana menegaskan ia siap bermain hingga Asian Games 2018 sambil melihat kondisinya yang mulai dimakan usia.
Pernyataan itu semestinya jadi pengingat bahwa seharusnya karier Tontowi/Liliyana pasca-Olimpiade semestinya dihitung sebagai sebuah ‘bonus’ semata. Bonus bagi para penggemar bulutangkis Indonesia karena masih bisa menyaksikan aksi Tontowi/Liliyana di lapangan. Soal target dan tumpuan beban juara, sudah semestinya diserahkan pada generasi di bawah mereka.
Menyenangkan tentunya melihat Tontowi/Liliyana bisa mempertahankan konsistensi di level atas dan jadi juara. Namun, itu akan terasa lebih membahagiakan bila di saat bersamaan para pemain muda Indonesia lainnya juga bisa melakukannya.
Namun pada kenyataannya, para pebulutangkis Indonesia lebih banyak yang pulang di awal turnamen. Saat turnamen memasuki babak semifinal, hanya tersisa tiga wakil yang bertahan dengan kemudian berlanjut menjadi Tontowi/Liliyana seorang yang mampu melanjutkan perjalanannya ke partai puncak.
Owi/Butet sukses meraih gelar juara di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. (http://ift.tt/2tA19CB Tegar)
|
Di luar Tontowi/Liliyana, tahun ini Indonesia punya Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang tampil melesat dengan tiga gelar juara di awal tahun.
Namun mengandalkan Kevin/Marcus saja tak akan bisa membuat Indonesia bernapas lega. Butuh banyak wakil lainnya agar Indonesia tak merana tiap kali turnamen memasuki babak akhir.
Di Indonesia Terbuka kali ini, Indonesia secara realistis memasang target meraih satu gelar juara. Target satu gelar kemudian seolah jadi target maksimal yang bisa disabet seiring dengan kapasitas sumber daya manusia yang dimiliki saat ini.
Saat Indonesia mulai puas dengan raihan satu gelar, terlebih karena sudah menjalani puasa tanpa gelar selama tiga tahun, di sanalah terlihat jelas ada kemunduran teratur yang dialami oleh Indonesia dalam persaingan di dunia bulutangkis.
Tontowi/Liliyana masih menjadi andalan Indonesia di ajang internasional. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)
|
Tahun depan, Indonesia Terbuka akan naik kelas menjadi turnamen premier of premier. Dengan demikian, jumlah hadiah yang ditawarkan termasuk dalam kategori paling besar dibandingkan turnamen lainnya.
Hal itu bakal jadi magnet para pebulutangkis asing untuk selalu tampil serius di Indonesia Terbuka. Tantangan untuk bisa meraih gelar di rumah sendiri pun bakal semakin berat bagi pebulutangkis Indonesia.
Mencetak seorang juara tak mudah dan harus melalui proses panjang. Memang benar, namun Tontowi/Liliyana sudah terlalu lama jadi tameng pertahanan yang menjaga reputasi Indonesia di peta bulutangkis dunia.
Tontowi/Liliyana semakin menua dan mereka tak bisa terus-menerus berada dalam kondisi terbaiknya. Selepas Tontowi/Liliyana kalah di babak pertama Australia Terbuka, beberapa hari usai juara di Indonesia Terbuka, Indonesia sendiri hanya memiliki satu wakil di babak perempat final lewat nama Praveen Jordan/Debby Susanto di Australia.
Indonesia jelas dalam kondisi darurat dan sekarat. Pemain-pemain lain harus segera melesat dalam waktu cepat.
Bila tak ada perubahan signifikan dalam tempo satu tahun ke depan, maka siap-siap menyaksikan Indonesia Terbuka jadi ajang jajahan pebulutangkis asing. Pun begitu halnya di turnamen lainnya saat tak banyak pebulutangkis Indonesia yang mampu bersaing.
(jun) Baca Kelanjutannya Tontowi/Liliyana, Layaknya Ksatria Tua di Tanah Terjajah : http://ift.tt/2sWO9c7Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tontowi/Liliyana, Layaknya Ksatria Tua di Tanah Terjajah"
Post a Comment