"Ayo pakai baju Persib, kita lihat konvoi Persib di pinggir jalan. Persib juara," ajak bapak saya. Waktu masih ingusan, saat Persib juara Liga Indonesia pertama musim 1994/1995, dan akan melintasi Jalan Garuda, yang dekat dengan rumah saya.
Itu jadi kebanggaan, dan saya pun yakin suporter lain sama fanatiknya, sebut saja pendukung Persija Jakarta, Arema FC, Persebaya, PSMS Medan, PSS Sleman dan tim lainnya di nusantara punya kebanggaan yang sama.
Bagi orang kelahiran Bandung mencintai Persib adalah suatu kebanggan. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
|
Kabar itu membuat saya terganggu. Ricko mengingatkan saya saat masih berseragam putih abu-abu, ‘madol’ sekolah berkonvoi di Kota Kembang. Terkadang melakukan perilaku vandal atas fasilitas kota sebelum dan sesudah menonton laga Persib. Saat itu pertandingan dihelat di Stadion Siliwangi, yang berada di jantungnya Bandung, awal 2000-an.
Kenakalan itu sempat membuat beberapa teman saya ditangkap polisi, diberi pengarahan lalu dipulangkan utuh. Jiwa dan raga masih satu, hanya sedikit memar akibat hukuman fisik wajar dari pengayom masyarakat dan akan bertambah memar saat sampai di rumah karena tambahan amarah ibu dan bapak yang tahu anaknya berkelakuan preman.
Itu jadi cerita lucu jika kami bertemu kawan-kawan lama. Tapi untuk Ricko, ia kembali hanya nama dan itu tidak lucu!!! Itu kriminal. Itu pembunuhan dan itu masalah. Masalah serius.
Ricko adalah korban teranyar yang meregang nyawa akibat superioritas suporter sepakbola. Superioritas khas tuan rumah yang merasa jemawa saat suporter tamu bertandang. Seakan hal itu benar karena ada pembenaran atas kebencian yang diturunkan terus menerus antara Viking-Jakmania, atau bahkan suporter lainnya yang memiliki rivalitas serupa.
Ricko Andrean menjadi korban pengeroyokan di sela pertandingan Persib vs Persija. (CNN Indonesia/Ahmad Bachrain)
|
Apakah perlu bertambah lagi nyawa-nyawa melayang hanya karena sepak bola? Sebelumnya selama 2016 ada M. Fahreza (Jakmania) dan Stanisalaus Gandhang Deswara (BCS PSS Sleman). Jangan lupakan Naga Reno Senopati dari Singamania, M. Rovi Arrahman (Bobotoh), Harun Al Rasyid Lestaluhu, Jakmania yang dikeroyok saat hendak pulang.
Mereka adalah pahlawan tergantung dari sudut pandang yang melihatnya. Mereka juga menjadi tumbal dari simbol kebencian dan kekerasan antar suporter yang terus direproduksi, dan sadar atau tidak itu dijaga turun bergenerasi.
Simbol Kebencian
"Sebagai seorang ultra, ini adalah jalan hidup. Kami berbeda dengan suporter lainnya, karena antusiasme dan ketertarikan yang begitu mendalam. Artinya, kami melakukan semuanya lebih dari yang dilakukan orang lain."
Letupan pernyataan itu disampaikan Brigate Rossonere ketua Ultras AC Milan, cukup mewakili bagaimana mereka ingin dilihat dan bagaimana mereka mencitrakan diri.
Siapa yang tidak merasa termotivasi dengan simbol-simbol penyemangat seperti kata Brigate? Saat tim bukan lagi sebagai sosok kesebelasan penghibur, tapi sesuatu yang dikultuskan, tinggal seorang orator andal yang membakarnya, baik lewat megaphone di stadion, semiotika kebencian di sablon kaos, atau sekedar menuliskan mural umpatan di tembok-tembok wilayah kekuasaan tim lawan.
Simbol-simbol kebencian dan kekerasan verbal berupa umpatan dan tulisan pernah saya rasakan dan saksikan, baik di sisi Persib dan Persija, lantaran Bandung dan Jakarta jadi domisili dan saksi rutinitas perjalanan kerja mingguan setelah nyaris delapan tahun melakoninya.
Saling ejek antara Jakmania dan Viking sering terjadi. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
|
Juga di Jakarta, sering melihat pakaian berseliweran dengan kata "Sampe Mati Gue Persija”, dan juga kata-kata provokatif untuk Persib.
Jika untuk kebanggaan dan dukungan positif itu adalah produktif, dan itu jelas mendorong roda perekonomian. Tak bisa dipungkiri, sepak bola ada salah satu motor ekonomi mikro. Tapi tidak jika sudah merenggut nyawa, seperti Ricko, Fahreza, Stanisalaus, Naga, Rovi, Harun dan korban lain yang tercatat mencapai puluhan sejak ISL kali pertama digulirkan pada 2007.
Jika ingin matematis, korban di 2016 berjumlah enam orang. Tapi nyawa tak bisa dihitung. Satu atau satu juta pun mereka berduka, tak kembali dan tak ada satupun hal sebanding nyawa terbuang percuma, apalagi hanya karena sepak bola.
Boboy, salah satu Jakmania yang babak belur saat Persib menjamu Persija. (Dok. Ririn Wahyuni)
|
Lalu, persahabatan suporter Persib-Persebaya dan Persija-Arema terjalin akibat permusuhan yang tidak jelas dari mana awalnya, tapi itu diturunkan terus menerus kepada anggota suporternya, bahkan sejak kecil di dalam keluarga. Itu saya rasakan sendiri di lingkungan terdekat saya, di Bandung, mayoritas mereka berumur belasan dan awal 20-an tahun.
Atau dengan kata lain, meminjam istilah filsuf India, Kautilya: “Musuh dari pada musuhku adalah temanku”, cocok dengan empat tim legendaris di Indonesia itu. Tapi sekali lagi, ini adalah ‘hanya’ sepak bola, permusuhan boleh tersaji di lapangan hijau dengan waktu 2x45 menit saja dilakoni 22 orang dan satu orang penengah (wasit).
Meniru Thatcher
Kebencian dan kekerasan atas suporter lain saat diterima secara luas, dibiarkan, maka menjadi budaya, itu yang berbahaya dan budaya kekerasan tak pantas dijaga. Harus dipangkas habis.
Berkaca dari tragedi Heysel 1985 pada final Liga Champions antara Liverpool vs Juventus yang menewaskan 39 suporter, dijadikan simbol melakukan pembenahan, yang membuat Inggris dikucilkan dan seluruh klub dibekukan dari pertandingan Eropa.
Tragedi Heysel menjadi salah satu titik reformasi pembenahan suporter di Inggris. (Nick Didlick/Files)
|
Investigasi yang dilakukan Peter Muray Taylor, ketua hakim ke-13 Inggris dan Wales, menemukan hasil standarisasi bagaimana negara memberikan formulasi perlindungan terhadap warganya saat menonton bola, mulai dari keamanan stadion hingga aturan atribut suporter, dan menjadi acuan di seantero Inggris Raya bahkan menjadi contoh dunia. Salah satunya, seluruh stadion tidak diperbolehkan memiliki tribun berdiri, seluruh suporter harus duduk satu orang satu kursi, adalah hasil sumbangsih Taylor.
Saat itu cara pandang Thatcher terhadap holigan adalah "habiskan mereka" apapun caranya, lewat aturan dan perintah yang tak bisa diganggu gugat, itu menjadi awan hitam sepak bola Inggris, namun di saat bersamaan reformasi selama lima tahun jadi kelahiran baru sepak bola Inggris yang sangat menawan hingga kini.
Indonesia membutuhkan formulasi yang tepat untuk mengatur suporter sepak bola. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H)
|
Mungkin apa yang dilakukan Thatcher terlalu ekstrem dilakukan di Indonesia. Tapi jika sepak bola mempertaruhkan nyawa layaknya Ricko, maka tak mengapa sepak bola itu tiada di Indonesia untuk beberapa saat. Selangkah mundur demi perbaikan tak masalah, karena tak layak satupun nyawa suporter hilang sengaja.
Soal industri dan keuntungan ekonomi dari sepak bola, silakan para ahli mengaturnya, atau prestasi Timnas Indonesia. Ada Kemenpora, PSSI dan pemangku kebijakan, termasuk media massa yang ikut berperan mendamaikan. Ini hanya sepak bola bung. Kita tidak sedang berperang, maka tak boleh ada satu nyawa pun hilang.
Sudahi mengulang kekerasan dan kebencian dalam sepak bola, sudahi demi Ricko dan mereka yang kini berstatus almarhum akibat rusuh suporter di Indonesia. Tak perlu menungu tragedi seperti di Inggris, karena pada dasarnya satu nyawa untuk sepak bola adalah tragedi.
Menonton sepak bola ke stadion seharusnya jadi hiburan, bukan untuk bertaruh nyawa. Jadikankah Ricko simbol untuk mendamaikan dan mendewasakan para suporter, seperti niat awal Ricko untuk melerai pertengkaran Bobotoh-Jakmania, Sabtu 22 Juli 2017 di GBLA.
Baca Kelanjutannya Ricko Andrean dan Reproduksi Simbol Kebencian : http://ift.tt/2w6bZAsBagikan Berita Ini
0 Response to "Ricko Andrean dan Reproduksi Simbol Kebencian"
Post a Comment